TUGAS 3 : ETIKA PROFESI
KONSEP DAN ANALISA FILSAFAT DAN ETIKA
Pada dasarnya, etika merupakan cabang filsafat yang
mengenakan refleksi serta metode pada tugas manusia dalam upaya menggali
nilai-nilai moral atau menerjemahkan berbagai nilai itu ke dalam
norma-norma dan menerapkannya pada situasi kehidupan konkret.
Sebagai ilmu, etika mencari kebenaran dan sebagai
filsafat, ia mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas
tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruk bagi tingkah laku manusia.
Dalam arti etis, baik dan buruk ini memainkan peranan
dalam hidup setiap manusia. Tak hanya sebatas kini, tapi juga di masa lampau.
Bertens (1993:12), misalnya, menyebutkan, ilmu-ilmu seperti antropologi budaya
dan sejarah memberitahukan kita bahwa pada semua bangsa dan dalam segala zaman
ditemukan keinsafan tentang baik dan buruk, tentang yang harus dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan.
Akan tetapi, lanjut Bertens, segera perlu ditambah
bahwa tidak semua bangsa dan tidak semua zaman mempunyai pengertian yang sama
tentang baik dan buruk. Ada bangsa atau kelompok sosial yang mengenal “tabu”,
sesuatu yang dilarang keras (misalnya, membunuh binatang tertentu), sedangkan
pada bangsa atau kelompok sosial lainnya perbuatan-perbuatan yang sama tidak
terkena larangan apa pun. Dan sebaliknya, ada hal-hal yang di zaman dulu sering
dipraktekkan dan dianggap biasa saja, tapi akan ditolak sebagai tidak etis oleh
hampir semua bangsa beradab sekarang ini. Sebagai contoh dapat disebut:
kolonialisme, perbudakan, dan diskriminasi terhadap wanita. Jadi, semua bangsa
mempunyai pengalaman tentang baik dan buruk, tapi tidak selalu ada pendapat
yang sama tentang apa yang harus dianggap baik dan buruk.
Sebagai ilmu dan filsafat, etika menghendaki ukuran
yang umum, tidak berlaku untuk sebagian dari manusia, tetapi untuk semua
manusia. Apa yang ditemukan oleh etika mungkin memang menjadi pedoman bagi
seseorang, namun tujuan pertama dan utama dari etika bukanlah untuk memberi
pedoman, melainkan untuk tahu. Atau, seperti ungkapan Poedjawijatna (1990:7),
“etika mencari dengan kemungkinan untuk keliru, dan kalau keliru, akan dicari
lagi sampai terdapat kebenaran.”
Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga
segi, yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika),
mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa
yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga
cabang utama filsafat ini kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang
ada: tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan
antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalammetafisika; dan,
kedua, politik: yakni kajian mengenai organisasi
sosial/pemerintahan yang ideal (Suriasumantri, 1994:32).
Berkaitan dengan sifat yang “ada” maka cabang filsafat
yang pertama adalah filsafat yang menjadikan yang “ada” secara umum sebagai
objek penyelidikannya (Mulkhan, 1994:36). Cabang filsafat selanjutnya adalah
filsafat yang menyelidiki yang “ada” secara khusus, dalam arti kekhususan
sesuatu secara umum.
Begitulah seterusnya; sifat-sifat khusus yang beragam
dari yang “ada” melahirkan berbagai cabang khusus dari filsafat. Karenanya,
cabang-cabang filsafat dapat dipahami dari kekhususan objeknya yang tersusun
secara hierarkhis dan secara fungsional. Secara hierarkhis, karena sifat-sifat
khusus dari sesuatu yang “ada” tersusun sebagai suatu kesatuan sehingga
membentuk yang “ada” itu sendiri. Selanjutnya, kekhususan yang “ada” secara
fungsional karena kekhususan sesuatu dapat dilihat dari sudut fungsi dari sifat-sifat
khusus yang “ada” tersebut. Secara keseluruhan bagi struktur maupun fungsi
merupakan kesatuan dari apa yang disebut “ada” tersebut.
Berdasarkan pandangan teoretis di atas akan dapat
dipahami mengenai lahirnya cabang-cabang filsafat serta aliran-aliran pandangan
di dalamnya. Cabang-cabang serta aliran filsafat yang timbul tidak mengurangi
arti yang “ada” sebagai yang “ada” sebagaimana dirinya sendiri.
Atas dasar kerangka hierarkhis dan fungsional
kekhususan objek filsafat di atas, dapat dikemukakan berbagai cabang dan aliran
dalam filsafat. Kemudian, dapatlah dipahami bahwa cabang-cabang serta aliran
filsafat akan berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kemampuan
akal atau pikir manusia itu sendiri.
Misalnya, dalam buku Filsafat Ilmu Abas
Hamami (1996:155-156) membagi filsafat ke dalam dua kelompok bahasan, yaitu
filsafat teoretis dan filsafat praktis. Kelompok pertama mempertanyakan segala
sesuatu yang ada, sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap
terhadap apa yang ada tersebut. Jadi, filsafat teoretis mempertanyakan dan
berusaha mencari jawabannya tentang segala sesuatu, misalnya manusia, alam,
hakikat realitas sebagai keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang
kita ketahui, tentang yang transenden, dan sebagainya. Dalam hal ini filsafat
teoretis pun mempunyai maksud dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
praktis, karena pemahaman yang dicarinya untuk menggerakkan kehidupan.
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral. Etika berkaitan erat dengan pelbagai masalah nilai karena etika pada
pokoknya membicarakan masalah-masalah predikat nilai “susila” dan “tidak
susila”, “baik” dan “buruk”. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang
dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa
orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sesungguhnya etika
lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar kebenaran dalam
hubungannya dengan tingkah laku manusia.
Sementara itu, Jujun Suriasumantri, selain membagi
kajian filsafat ke dalam lima pokok permasalahan yang menyangkut logika, etika,
estetika, metafisika, dan politik, sebagaimana disinggung di muka, juga
menyebutkan bahwa kelima cabang utama ini kemudian berkembang lagi menjadi
cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik, di
antaranya filsafat ilmu. Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain mencakup:
(1) Epistemologi (Filsafat Pengetahuan);
(2) Etika (Filsafat Moral);
(3) Estetika (Filsafat Seni);
(4) Metafisika;
(5) Politik (Filsafat Pemerintahan);
(6) Filsafat Agama;
(7) Filsafat Ilmu;
(8) Filsafat Pendidikan;
(9) Filsafat Hukum;
(10) Filsafat Sejarah;
(11) Filsafat Matematika (Suriasumantri, 1994:32-33).
Dari cabang filsafat lain etika dibedakan oleh karena
tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan bagaimana ia harus bertindak.
Etika adalah filsafat tentang praksis manusia. Etika adalah praksiologik. Semua
cabang filsafat berbicara tentang “yang ada”, sedangkan etika membahas “yang
harus dilakukan”. Itu sebabnya etika tidak jarang disebut juga “filsafat
praktis” (Bertens, 1993:27). “Praktis”, karena menurut Bertens, cabang ini
langsung berhubungan dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak
boleh dilakukan manusia.
Sifat dasar etika adalah sifat kritis. Etika bertugas
untuk mempersoalkan norma yang dianggap berlaku. Diselidikinya apakah dasar
suatu norma itu dan apakah dasar itu membenarkan ketaatan yang dituntut oleh
norma itu. Terhadap norma yang de facto berlaku, etika
mengajukan pertanyaan tentang legitimasinya. (Apakah berlaku de jure pula).
Norma yang tidak dapat mempertahankan diri dari pertanyaan kritis ini akan
kehilangan haknya (Zubair, 1990:9-10).
Pemikiran kritis dari filsafat, menurut Abdul Munir
Mulkhan, mempersoalkan segenap kenyataan yang salah satu di antaranya merupakan
objek persoalan ilmu. Penelitian filsafat adalah penelitian terhadap segala
ilmu dan kenyataan serta proses mengetahui atau memperoleh ilmu. Bagian khusus
yang menyelidiki mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ilmu ini dikenal dengan
epistemologi atau filsafat ilmu atau bahkan ada yang menyebut dengan metodologi
(Mulkhan, 1993:43).
Ilmu itu sendiri merupakan suatu pengetahuan yang
mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut
tidak lagi merupakan misteri (Saefuddin,dkk, 1987:15). Penjelasan ini akan
memungkinkan kita untuk meramalkan sesuatu yang akan terjadi, dan dengan
demikian memungkinkan kita untuk mengontrol gejala tersebut. Untuk itu, ilmu
membatasi ruang jelajah kegiatannya pada daerah pengalaman manusia. Artinya,
objek penelaahan keilmuan meliputi segenap gejala yang dapat ditangkap oleh
pengalaman manusia lewat pancainderanya.
Dalam kaitan ini, filsafat bukan saja mempunyai
pertautan dengan segenap ilmu akan tetapi bersangkut-paut dengan seluruh ilmu
pengetahuan. Selain itu, filsafat merupakan sumber informasi lengkap mengenai
tumbuh-kembangnya suatu pengetahuan yang bagaimanapun akan senantiasa bersumber
pada filsafat. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa filsafat merupakan pendasar
atau penelaah ilmu, pengalaman dan karya manusia, atau pemberi arah, serta
pemberi kritik dan kontrol.
Karena itu, apabila kita sepakat dengan suatu konsep
bahwa filsafat adalah “induk” segala ilmu pengetahuan, maka metode, objek, dan
sistematika filsafat mempunyai arti fungsional bagi setiap upaya pengembangan
ilmu-ilmu lain. Jadi, atas dasar konsep itu, setiap ilmu lain yang bersifat
terapan, termasuk etika, merupakan pengembangan metode dan sistematika disiplin
filsafat. Atau sebagai pengkhususan dari salah satu perhatian objek analisis
filsafat.
Bahwa sedemikian besar implikasi perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi itu, barangkali tampak paling jelas, jika kita
menginsafi arti perkembangan itu untuk filsafat dan etika. Perkembangan itu
mempunyai arti khusus bagi filsafat, karena refleksi tentang apa yang
dinyatakan ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai hakikat manusia sangat
penting untuk menjawab pertanyaan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang
arti keberadaannya di dunia. Perkembangan itu mempunyai arti khusus pula untuk
etika, karena seperti dikatakan A.G.M. van Melsen (1992:130), refleksi
filosofis tidak pernah netral, tetapi mengundang kita untuk mengambil suatu
sikap hidup dan mewujudkan kehidupan kita sesuai dengan apa yang dinyatakan
sebagai hakikat manusia
1.2 PANCASILA
SEBAGAI SISTEM ETIKA
Nilai, norma, dan moral adalah konsep-konsep yang
saling berkaitan. Dalam hubungannya dengan Pancasila maka ketiganya akan
memberikan pemahaman yang saling melengkapi sebagai sistem etika. Pancasila
sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai yang
menjadi sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral
maupun norma kenegaran lainnya. Di samping itu, terkandung juga
pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan
komprehensif. Oleh karena itu, suatu pemikiran filsafat adalah suatu
nilai-nilai yang bersifat mendasar yang memberikan landasan bagi manusia dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai tersebut dijabarkan
dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan nyata dalam masyarakat,
bangsa dan negara maka diwujudkan dalam norma-norma yang kemudian menjadi
pedoman. Norma-norma itu meliputi.
- Norma Moral
Yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat
diukur dari sudut baik maupun buruk, sopan atau tidak sopan,
susila atau tidak susila.
- Norma Hukum
Suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku
dalam suatu tempat dan waktu tertentu dalam pengertian ini peraturan hukum.
Dalam pengertian itulah Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala
sumber hukum. Dengan demikian, Pancasila pada hakikatnya bukan merupakan suatu
pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan
suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber norma.
1.3 PENGERTIAN
ETIKA
Etika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang
membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi
dua kelompok. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah ilmu yang membahas
tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau
bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral.
Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :
- Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
- Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun mahluk sosial (etika sosial).
1.4 PENGERTIAN
NILAI, NORMA DAN MORAL
Pengertian Nilai (value) adalah kemampuan yang
dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu
benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu
pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya.
Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik
kenyataan-kenyataan lainnya. Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia
untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya
diambil keputusan. Keputusan itu adalah suatu nilai yang dapat menyatakan
berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, dan
seterusnya. Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia
sebagai subjek penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan
kepercayaan. Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna,
memperkaya bathin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai
bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap
dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud
kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Oleh karena itu, Alport mengidentifikasikan
nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam, yaitu :
nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan
nilai religi.
Hierarkhi Nilai sangat tergantung pada titik tolak dan
sudut pandang individu – masyarakat terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan
materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai meterial. Max
Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan
luhurnya. Menurutnya nilai – nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan
yaitu :
- nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak,
- nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni : jasmani, kesehatan serta kesejahteraan umum,
- nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni,
- nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci.
Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga,
yaitu :
- nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia,
- nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan,
- nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam empat tingkatan sebagai berikut :
- nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia.
- nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia
- nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia
- nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.
Pengertian
Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan,
tabiat atau kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang
menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada
aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya,
dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi
maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat
berupa peraturan dan atau prinsipprinsip yang benar, baik terpuji dan mulia.
Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Pengertian
Norma Kesadaran manusia yang membutuhkan hubungan yang ideal akan menumbuhkan
kepatuhan terhadap suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal yang seimbang,
serasi dan selaras itu tercermin secara vertikal (Tuhan), horizontal (masyarakat)
dan alamiah (alam sekitarnya) Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai
mahluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan
sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu,
norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma
kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk
dipatuhi karena adanya sanksi.
Nilai Dasar Sekalipun nilai bersifat abstrak yang
tidak dapat diamati melalui panca indra manusia, tetapi dalam kenyataannya
nilai berhubungan dengan tingkah laku atau berbagai aspek kehidupan manusia
dalam prakteknya. Setiap nilai memiliki nilai dasar yaitu berupa hakikat,
esensi, intisari atau makna yang dalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar
itu bersifat universal karena menyangkut kenyataan obyektif dari segala
sesuatu. Contohnya : hakikat Tuhan, manusia, atau mahluk lainnya. Apabila nilai
dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan maka nilai dasar itu bersifat mutlak
karena Tuhan adalah kausa prima (penyebab pertama). Segala sesuatu yang
diciptakan berasal dari kehendak Tuhan. Bila nilai dasar itu berkaitan dengan
hakikat manusia maka nilai-nilai itu harus bersumber pada hakikat kemanusiaan
yang dijabarkan dalam norma hukum yang diistilahkan dengan hak dasar (hak asasi
manusia). Apabila nilai dasar itu berdasarkan kepada hakikat suatu benda
(kuantitas, aksi, ruang dan waktu) maka nilai dasar itu dapat juga disebut
sebagai norma yang direalisasikan dalam kehidupan yang praksis, namun nilai yang
bersumber dari kebendaan tidak boleh bertentangan dengan nilai dasar yang
merupakan sumber penjabaran norma itu. Nilai dasar yang menjadi sumber etika
bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman
pelaksanaan dari
nilai dasar. Nilai dasar belum dapat bermakna
sepenuhnya apabila belum memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang
jelas dan konkrit. Apabila nilai instrumental itu berkaitan dengan tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari maka nilai itu akan menjadi norma moral.
Namun jika nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi atau
negara, maka nilai instrumental itu merupakan suatu arahan, kebijakan, atau
strategi yang bersumber pada nilai dasar sehingga dapat juga dikatakan bahwa
nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar. Dalam
kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai instrumental dapat
ditemukan dalam pasal-pasal undang-undang dasar yang merupakan penjabaran
Pancasila.
Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari
nilai instrumental dalam kehidupan yang lebih nyata dengan demikian nilai
praksis merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai dasar dan
nilai-nilai instrumental. Oleh karena itu, nilai praksis dijiwai kedua nilai
tersebut diatas dan tidak bertentangan dengannya. Undang-undang organik adalah
wujud dari nilai praksis, dengan kata lain, semua perundang-undangan yang
berada di bawah UUD sampai kepada peraturan pelaksana yang dibuat oleh
pemerintah.
Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu
kenyataan yang seharusnya tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan
kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digarisbawahi bila seorang individu,
masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan
berkembang Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna menuntun
sikap dan tingkah laku manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi
lebih obyektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas
sehari hari. Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan
norma akan memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu
amat ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara
moral dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya.
Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di
tangan pihak yang memberikan ajaran moral.
Komentar
Posting Komentar